oleh : Heru Saputra *
ENERGIBANGSA.ID – “The Laugh of the Medusa” atau bisa diartikan “Tawa Medusa” merupakan karya Hélène Cixous yang bertemakan seruan untuk pembebasan perempuan melalui penulisan dan ekspresi diri yang otentik. Dalam esainya, Cixous memperkenalkan konsep “Écriture féminine” atau “tulisan perempuan”, yang menekankan pentingnya bagi perempuan untuk menulis dari perspektif mereka sendiri, menggunakan bahasa yang puitis, penuh perasaan, dan berbeda dari norma-norma penulisan maskulin yang dominan.
Cixous berargumen bahwa penulisan adalah alat bagi perempuan untuk membebaskan diri dari dominasi patriarki. Melalui tulisan, perempuan dapat mengekspresikan hasrat, pengalaman, dan pikiran mereka yang sering kali terpinggirkan atau diabaikan dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Dia mengkritik bagaimana sistem patriarki telah membatasi ekspresi dan representasi perempuan dalam budaya dan sastra, mengajak perempuan untuk menulis diri mereka sendiri ke dalam sejarah dan budaya, menolak invisibilitas yang telah dikenakan oleh masyarakat patriarkal.
Konsep “Écriture féminine” menekankan bahwa perempuan harus menulis dengan cara yang mencerminkan identitas dan pengalaman mereka sendiri, bukan sekadar meniru gaya penulisan laki-laki yang biasanya lebih logis dan terstruktur. Sebaliknya, penulisan perempuan menurut Cixous seharusnya lebih intuitif, emosional, dan puitis. Dia percaya bahwa perempuan memiliki daya imajinasi yang kuat yang harus dieksplorasi dan diekspresikan melalui penulisan, mendorong mereka untuk memanfaatkan kekuatan ini dan tidak takut untuk mengungkapkan diri mereka secara bebas dan otentik.
Cixous juga mereklamasi Medusa, sosok yang dalam mitologi Yunani sering dilihat sebagai menakutkan, sebagai simbol kekuatan dan pembebasan perempuan. Tertawanya Medusa melambangkan kebebasan perempuan dari ketakutan dan pembatasan yang dikenakan oleh patriarki. Dengan menulis, perempuan dapat menguasai tubuh dan pikiran mereka yang telah lama dikendalikan oleh norma-norma laki-laki. Esai ini adalah panggilan bagi perempuan untuk mengklaim kekuatan mereka melalui penulisan, untuk menolak norma-norma patriarki, dan untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara yang benar-benar mencerminkan identitas dan pengalaman mereka.
Dalam konteks budaya Jawa modern, pergeseran dalam lanskap penciptaan musik menunjukkan sebuah dinamika yang menarik, namun juga memunculkan pertanyaan tentang dominasi perspektif laki-laki dalam seni. Sebagian besar pencipta lagu Jawa populer saat ini adalah laki-laki, seperti Denny Caknan, Ndarboy Genk, dan sebagainya. Mereka menciptakan lagu-lagu dengan narasi dan perspektif yang cenderung mencerminkan pengalaman dan pandangan laki-laki.
Sebaliknya, perempuan sering kali hanya berperan sebagai penyanyi atau pengisi vokal dalam lagu-lagu tersebut, tanpa memiliki peran signifikan dalam proses penciptaan musik dan penulisan lirik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam representasi gender dalam industri musik Jawa populer, di mana dominasi perspektif laki-laki tetap terlihat.
Dalam konteks feminis, fenomena ini menunjukkan bagaimana patriarki masih memegang kendali atas produksi dan representasi budaya, bahkan dalam bentuk seni seperti musik. Lagu-lagu yang diciptakan oleh laki-laki cenderung memperkuat dan memperpanjang narasi-narasi yang sudah ada tentang pengalaman dan pandangan dunia laki-laki, sementara pengalaman dan perspektif perempuan sering kali diabaikan atau diinvisibilkan.
Hal ini juga mencerminkan bagaimana penciptaan musik seringkali merupakan cermin dari struktur kekuasaan dan hierarki gender yang ada dalam masyarakat. Meskipun ada upaya untuk menciptakan ruang bagi ekspresi dan pengalaman perempuan dalam musik, seperti dengan konsep “Tulisan Perempuan” yang diperkenalkan oleh Hélène Cixous, namun dominasi perspektif laki-laki masih tetap dominan.
Alih-alih melihat “Tawa Medusa,” justru penulis masih melihat kencangnya “Tangis Medusa”, dimana pengalaman perempuan masih belum terwakilkan, dan perspektif mereka terus diabaikan atau direduksi menjadi sekadar narasi tambahan dalam karya-karya yang diciptakan oleh laki-laki.
Oleh karena itu, penting untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender dalam industri musik, dengan memberikan ruang dan mendukung penciptaan musik dari berbagai perspektif dan pengalaman, termasuk dari perspektif perempuan. Hanya dengan cara ini, kita dapat menghasilkan sebuah representasi budaya yang lebih inklusif dan mewakili beragam pengalaman dan pandangan dalam masyarakat.
*Heru Saputra, Dosen UIN Salatiga